Oleh: Thoriq Tri Prabowo
Oke perkenalkan nama saya Thoriq Tri Prabowo, saya biasa dipanggil Thoriq, Thor (Bukan Dewa Pemegang Palu Listrik) dan beberapa memanggil Riq saja. Dalam postingan kali ini saya akan menceritakan pengalaman muda saya bersama teman-teman saya tercinta.
Layaknya berinteraksi dengan orang baru, pasti manusia yang baru saja kenal akan berinteraksi dengan canggung. Tak terkecuali saya dan teman-teman baru saya di kampus baru saya. Salah satu universitas negeri di kota Yogyakarta. Datang jauh-jauh dari wilayah yang cukup terisolir dari kota kecil Temanggung Jawa Tengah yang berjarak kurang lebih 100 km hanya untuk mengais ilmu di Kota Pelajar, saya membawa segudang tekad, rencana, ambisi, idealisme dan cita-cita yang tinggi yang mungkin tidak dipahami oleh beberapa orang yang tidak merasakan kehidupan saya. Oke cukup berbicara mengenai hal yang abstrak dan berbelit-belit, langsung saja cerita di Kota Budaya, Kota penuh kenangan ini akan saya mulai.
Sore itu perasaan yang bercampur aduk mulai masuk ke otak saya yang akal itu berusia 18 tahun. Pasalnya setelah dinyatakan diterima di kampus idaman saya langsung membooking kamar kos yang sebenarnya saya sendiri kurang menyukainya karena lokasinya yang rada kumuh bersebalahan dengan selokan yang jika hujan airnya kadang meluap dan pasti bau lumpur menyengat hidung. Tapi bagaimana lagi sayang juga uangnya jika saya mengurungkan niat untuk tidak jadi mengambil kamar tersebut, lagian mencari sewaan kos bulanan yang harganya lumayan rada susah, jadi saya mantapkan untuk mengambil kamar tersebut. Singkat cerita saya menginap sendiri di kamar nomor 8, nyaris di tepian ruangan yang berbentuk lorong itu, agak seram tapi saya tetap menutup mata hingga pagi datang.
Satu hal baru yang saya alami adalah pengambilan keputusan yang dahulu lebih saya serahkan kepada orang tua, kini harus terbiasa saya putuskan sendiri. Iya itu adalah karakter baru yang harus dipernankan mahasiswa sebagai aktornya. Seperti menghadapi babak baru dalam kehidupan saya, saya memulai semuanya dari nol. Umunya remaja yang masih dalam pencarian jati diri, pun saya begitu, mencari perhatian dari sekeliling orang baru.
Saya ingat betul hari itu adalah hari pertama OSPEK. Tidak satupun orang yang akan saya kenal jika saya tidak memulai menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dan berkenalan. Hingga saya bertemu dengan orang asing pertama yang saya kenal bernama Haris Widodo kebetulan adalah teman sekelompok yang dibentuk panitia OSPEK. Diketahui bahwa dia adalah peranakan asli Kota Banjarnegara kental dengan logat ngapaknya saya mulai punya satu teman. Saya memanggilnya Haris, dia adalah pribadi yang ramah, mudah bergaul, wawasannya cukup luas terutama mengenai hal-hal yang berbau retro (klasik), beberapa kali akan menyisipkan istilah asing (bahasa inggris) ketika berbicara, memiliki tinggi badan yang nyaris sama dengan saya sekitar 160-an cm. ya memang untuk ukuran cowok memang kami tidak terlalu tinggi, tapi saya tidak akan membahas hal tersebut lebih lanjut. Iya pemaparan mengenai Haris di atas adalah informasi kecil yang saya dapatkan dari pertemuan pertama dengan Haris, yang hingga akhir OSPEK masih saya nobatkan menjadi satu-satunya teman yang bisa saya ajak ngobrol.
***
Bersambung...
No comments:
Post a Comment