...Iya pemaparan mengenai Haris di atas adalah informasi kecil yang saya dapatkan dari pertemuan pertama dengan Haris, yang hingga akhir OSPEK masih saya nobatkan menjadi satu-satunya teman yang bisa saya ajak ngobrol.
Berawal dari kesamaan tinggi badan dan kelompok dalam OSPEK ini saya dan Haris mulai berteman, bertukar nomor HP, saling memberitahu alamat kos, dan kadang-kadang saya mengunjungi kosnya yang terletak di gang sempit dekat kampus, yang jika untuk masuk ke gang kosnya mesin motor harus dimatikan, berarti saya harus mendorong sekitar 50 meter setiap main ke kosnya.
Haris adalah pribadi yang cukup visioner, dia memandang masa depan dengan penuh estimasi dan penuh perhitungan. Pada awal-awal kuliah dia sempat mengajari saya bagaimana mengelola keuangan, bagaimana berhemat di tanah rantau, sampai bagaimana mencari makanan dan ilmu gratis gratis pada kajian-kajian di sore hari yang diselenggarakan komunitas tertentu. Dia juga mengajari saya untuk menjadi mahasiswa kupu-kupu, apa itu mahasiswa kupu-kupu? Yaitu istilah Haris menyebut mahasiswa yang kerjaannya hanya kuliah-pulang kuliah-pulang saja. Semua pelajaran yang Haris ajarkan selalu saya perhatikan dengan seksama tetapi tidak saya laksanakan meskipun yang Haris ajarkan adalah tips-tips mengenai kebaikan, karena sangat bertentangan dengan pribadi saya, sehingga sangat sulit untuk dipraktekkan. Saya cenderung ceroboh, berperilaku spontan atau tidak terlalu pintar berencana dan sering melakukan sesuatu secara spontan, jarang ambil pusing, dan tidak mau repot sungguh pribadi yang jelek.
Di balik perbedaan tersebut kami berdua memiliki kesamaan, yaitu doyan film barat dan kadang-kadang menganalisis Bahasa Inggris untuk dipraktekin di dunia nyata, dan benar Haris telinganya lebih jernih, dia banyak menyaring kutipan-kutipan keren di dalam film. Selain itu ternyata kami juga memiliki sedikit kesamaan dalam selera musik yang kami dengarkan, yaitu musik-musik bergenre rock steady seperti Sublime, Shaggydog, Souljah dan lainnya. Pada masa itu saya masih ingat boyband dan girlband belum seheboh sekarang ini.
Beralih dari perbedaan karakter antara saya dan Haris, Haris yang pandai bergaul memiliki total kenalan cukup banyak dalam kurun waktu singkat meskipun dia adalah Maba (Mahasiswa Baru). Haris percaya bahwa semakin banyak teman artinya semakin besar peluang untuk bertemu dengan orang-orang hebat dan memudahkan langkahnya untuk meraih masa depan, dan belakangan ini saya mempercayai itu. Teman-teman kenalan baru Haris berasal dari berbagai penjuru jurusan, angkatan, fakultas hingga lintas universitas.
Di hari pertama kuliah saya dikenalkan dengan kenalan barunya yang kebetulan adalah satu kelas di jurusan saya, Jurusan Ilmu Perpustakaan. Diketahui namanya Tifano Choir dipanggil Fano, pribadi yang lumayan dingin saat pertama kali saya melihatnya. Fano yang berkacamata itu dibalut pakaian distro, sepatu merk Nike, penunggang Suzuki Satria F berplat nomor AD (Sragen, Jawa Tengah), dan tidak banyak informasi yang saya dapat hingga kelas masuk.
Sementara ada dua orang yang baru saya kenal di kampus tersebut Haris dan Fano. Hingga seperti pada umumnya hari pertama kuliah adalah perkenalan dan kontrak belajar saya melihat sesuatu yang berbeda pada Fano ketimbang teman-teman yang lain. Nama demi nama, alamat demi alamat, dan cita-cita demi cita-cita disebut pada perkenalan pagi itu, yang mayoritas di kelas saya banyak yang bercita-cita menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), Fano memilih cita-cita yang berbeda yaitu memilih menjadi pengusaha sukses.
Berbicara sedikit mengenai cita-cita, PNS adalah profesi yang sangat aman dan bebas dari resiko. Mengapa demikian? Karena kebanyakan orang tua menguliahkan dan merekomendasikan putra-putrinya untuk mengambil jurusan tertentu dengan pertimbangan isu, iya isu bahwa di tahun sekian posisi PNS dengan jurusan tersebut sangat dibutuhkan. PNS memiliki tunjangan gaji bahkan setelah mereka purna, sehingga asumsi kebanyakan orang PNS adalah profesi yang sejahtera, jauh dari PHK, bisa menabung untuk masa depan, kaya raya. Mungkin alasan-alasan tersebut yang menjadikan banyaknya yang mengangkat tangan untuk memilih PNS sebagai cita-cita di kelas kami pagi itu. Namun pada kenyataan di negeri ini banyak sekali sarjana yang sebenarnya memiliki kreatifitas tinggi namun harus menganggur karena menunggu antrian untuk meraih cita-citanya menjadi PNS yang entah kapan hal tersebut akan terjadi.
Berbeda halnya dengan pengusaha yang setiap langkahnya penuh dengan tantangan, naik turun, kerja keras, jauh dari posisi statis. Namun mereka menjamin sendiri kehidupan mereka akan menjadi seperti apa, usaha adalah parameter kesejahteraan yang akan dicapai, gaji nol rupiah sampai dengan satu milyar rupiah adalah pilihan. Dari yang Fano katakan saya mengambil pelajaran, tidak seharusnya Mahasiswa berpangku tangan menunggu, menanti jaminan dari orang lain, sudah saatnya mahasiswa mengolah kreatifiatsnya untuk berkarya lebih kreatif lagi untuk tidak terjebak dalam keadaan yang busuk ini.
Beralih dari perbedaan karakter antara saya dan Haris, Haris yang pandai bergaul memiliki total kenalan cukup banyak dalam kurun waktu singkat meskipun dia adalah Maba (Mahasiswa Baru). Haris percaya bahwa semakin banyak teman artinya semakin besar peluang untuk bertemu dengan orang-orang hebat dan memudahkan langkahnya untuk meraih masa depan, dan belakangan ini saya mempercayai itu. Teman-teman kenalan baru Haris berasal dari berbagai penjuru jurusan, angkatan, fakultas hingga lintas universitas.
Di hari pertama kuliah saya dikenalkan dengan kenalan barunya yang kebetulan adalah satu kelas di jurusan saya, Jurusan Ilmu Perpustakaan. Diketahui namanya Tifano Choir dipanggil Fano, pribadi yang lumayan dingin saat pertama kali saya melihatnya. Fano yang berkacamata itu dibalut pakaian distro, sepatu merk Nike, penunggang Suzuki Satria F berplat nomor AD (Sragen, Jawa Tengah), dan tidak banyak informasi yang saya dapat hingga kelas masuk.
Sementara ada dua orang yang baru saya kenal di kampus tersebut Haris dan Fano. Hingga seperti pada umumnya hari pertama kuliah adalah perkenalan dan kontrak belajar saya melihat sesuatu yang berbeda pada Fano ketimbang teman-teman yang lain. Nama demi nama, alamat demi alamat, dan cita-cita demi cita-cita disebut pada perkenalan pagi itu, yang mayoritas di kelas saya banyak yang bercita-cita menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), Fano memilih cita-cita yang berbeda yaitu memilih menjadi pengusaha sukses.
Berbicara sedikit mengenai cita-cita, PNS adalah profesi yang sangat aman dan bebas dari resiko. Mengapa demikian? Karena kebanyakan orang tua menguliahkan dan merekomendasikan putra-putrinya untuk mengambil jurusan tertentu dengan pertimbangan isu, iya isu bahwa di tahun sekian posisi PNS dengan jurusan tersebut sangat dibutuhkan. PNS memiliki tunjangan gaji bahkan setelah mereka purna, sehingga asumsi kebanyakan orang PNS adalah profesi yang sejahtera, jauh dari PHK, bisa menabung untuk masa depan, kaya raya. Mungkin alasan-alasan tersebut yang menjadikan banyaknya yang mengangkat tangan untuk memilih PNS sebagai cita-cita di kelas kami pagi itu. Namun pada kenyataan di negeri ini banyak sekali sarjana yang sebenarnya memiliki kreatifitas tinggi namun harus menganggur karena menunggu antrian untuk meraih cita-citanya menjadi PNS yang entah kapan hal tersebut akan terjadi.
Berbeda halnya dengan pengusaha yang setiap langkahnya penuh dengan tantangan, naik turun, kerja keras, jauh dari posisi statis. Namun mereka menjamin sendiri kehidupan mereka akan menjadi seperti apa, usaha adalah parameter kesejahteraan yang akan dicapai, gaji nol rupiah sampai dengan satu milyar rupiah adalah pilihan. Dari yang Fano katakan saya mengambil pelajaran, tidak seharusnya Mahasiswa berpangku tangan menunggu, menanti jaminan dari orang lain, sudah saatnya mahasiswa mengolah kreatifiatsnya untuk berkarya lebih kreatif lagi untuk tidak terjebak dalam keadaan yang busuk ini.
***
Bersambung...
No comments:
Post a Comment