Oleh: Thoriq Tri Prabowo
***
...Dari yang Fano katakan dapat diambil pelajaran, bahwa tidak seharusnya Mahasiswa berpangku tangan menunggu, menanti jaminan dari orang lain, sudah saatnya mahasiswa mengolah kreatifiatsnya untuk berkarya lebih kreatif lagi untuk tidak terjebak dalam keadaan yang busuk ini.
Di sisi lain ada tiga mahasiswa yang duduk berdampingan di tepian kelas, sesuai lokasi yang mereka duduki mereka juga memberikan ide dan gagasannya yang kian menepi tak terdengar, mereka tidak memberikan suara sedikitpun entaah apa yang ada dalam pikiran mereka pikirku saat itu. Beberapa saat ramainya kelas akan cita-cita dan rencana hari esok telah usai dibicarakan dan kelas dibubarkan dengan materi perkenalan mata kuliah dan kontrak belajar.
Pada minggu-minggu pertama kuliah hal kurang efektif itu terus berulang, hingga tiap dosen pada tiap mata kuliah sudah mengenalkan mata kuliahnya. Sampailah pada tahap yang membuat mahasiswa menentukan pilihannya untuk menjadi mahasiswa aktif, pasif atau tidak keduanya dengan tidak peduli. Kuliah perdana di semester I waktu itu dimulai. Ada sedikit perasaan senang, kaget, tertantang juga, dalam hati ku berkata:
"Ini saatnya ini saatnya.." iya saatnya untuk menjadi mahasiswa aktif, entah mengapa aku tertarik untuk berbicara di depan orang banyak. Menyusun, kata demi kata pada imajinasi untuk nanti ditanyakan atau diuraikan ke dalam kalimat yang indah, akademis, dan membuat sedikit lukisan senyum pada raut muka dosen, harapanku.
Komentar demi komentar, pertanyaan semu demi pertanyaan semu mulai kulontarkan, mahasiswa pemula awal kuliah, kadang membuatku terpingkal kita kumengingatnya sambil mempraktekan apa yang pernah kukatakan dulu, yang bahkan kadang tidak berarti sama sekali. Dari seisi penjuru kelas banyak sekali yang menunjukkan kebolehannya untuk berbicara di depan. Tentu sangat terlihat aku yang berasal dari Jawa Tengah ketika berbicara menggunakan Bahasa Indonesia baku sedikit canggung, selalu ada imbuhan "....apa..." kadang terbata-bata, ya seperti itulah aku.
Masih ingat dengan tiga mahasiswa yang duduk di tepian kelas? Ternyata hingga berjalannya waktu perkuliahan mereka masih duduk di tempat tersebut, seakan memang tempat itu disediakan untuk mereka. Aku sedikit keheranan dengan mereka, kadang timbul pertanyaan dalam benakku: "Apa mereka anak bandel yang jika berangkat kuliah selalu telat, di kelas diam, pulang?" tapi aku tidak melihat sama sekali wajah-wajah bandel pada mereka. Lalu mereka ini orang macam apa?
Setelah beberapa kali bertemu pada mata kuliah yang sama akhirnya kuketahui nama dari ketiga orang tersebut.
1. Eko Kurniawan, dipanggil Eko. Dia adalah pribadai "dulunya" Pendiam, konon berasal dari daerah Pati, Jawa Tengah, alumni dari sebuah pondok pesantren, rajin membaca buku dan yang belum aku percaya saat itu dia adalah seorang Takmir/Marbot dari sebuah Masjid (yang kelak akan membuat segudang coretan cerita disana), tidak banyak bicara, bertanya dengan pedoman buku-buku yang pernah Ia baca.
2. Bayu Andi Ernanto, dipanggil Bayu (ketika baru pertama kenal), Andek (ketika sudah lumayan kenal). Kadang lupa antara Bayu Andi atau Andi Bayu, bagiku sama saja. Nomor presensi tepat sebelum aku, ketika diabsen dosen pada awal kuliah selalu belum datang karena telat, pendiam, sering mengantuk, jarang sekali menanggapi atau bertanya pada waktu kuliah berlangsung, di luar kelas banyak teman, kelihatannya sedikit humoris, kolektor dan penjual burung kenari, ketua karang taruna di desanya, remaja masjid aktif.
3. Muhammad Nur Dear (Gandarizki), dipanggil Dear. Sangat pendiam, dan bahkan tidak ada informasi yang kudapatkan tentang dia. Belakangan diketahui bahwa dia adalah teman SMA dari Bayu ternyata mereka berdua adalah pesepak bola yang handal. Dear pribadi yang sangat sederhana, rendah hati, sedikit pesimis, pendiam, kadang mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingannya sendiri, belum pernah pacaran sama sekali, ketua karang taruna, pernah mengetuai satu event lumayan besar di kampungnya, sempat bekerja pada satu EO (event organizer) dan beberapa prestasi lainnya.
Dari segelintir informasi tersebut rasanya tidak ada alasan untuk menundukkan kepala karena prestasi dari masing-masing ketiga anak telatan tadi. Dari hal tersebut bisa diambil pelajaran bahwa tampilan luar bukanlah parameter dari kualitas dari seseorang, mulai dari saat itu aku selalu menghargai ide dan gagasan yang bahkan berbeda sekali dengan ideku, karena aku yakin setiap orang punya passionnya masing-masing.
***
Bersambung...
No comments:
Post a Comment