Oleh: Thoriq Tri Prabowo
Sebentar lagi Indonesia akan menghadapi pemilu (pemilihan umum). Pemilu merupakan bukti bahwa Negara ini adalah Negara yang demokratis, tak terkecuali dalam pemilihan pemimpin bangsa. Agenda rutin lima tahunan ini direncanakan akan dilaksanakan pada bulan April tahun 2014. Seperti yang tertera dalam situs resmi pemilu 2014 (http://www.pemilu.com/pemilu-2014/) pemilu akan dilaksanakan dua kali yaitu Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2014 yang akan memilih para anggota dewan legislatif dan Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Masing-masing partai politik peserta pemilu pun sudah mempersiapkan calon yang akan dijagokan, sehingga selanjutnya hanyalah tugas rakyat dalam memilih pemimpin yang dianggap tepat. Sedikitnya ada sekitar 12 partai politik yang mengikuti pemilu, diantaranya adalah: Partai Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PPP, Partai HANURA, Partai Bulan Bintang dan PKPI. Sedangkan yang akan diisukan menjadi calon presiden diantaranya adalah Dahlan Iskan, Gita Wirjawan, Hayono Isman, Joko Widodo (Jokowi), Jusuf Kalla, Megawati Sukarnoputri, Prabowo Subianto, Pramono Edhie Wibowo, Rhoma Irama, Wiranto. Calon presiden yang berasal dari latar belakang profesi yang berbeda membuat pemilihan umum tahun ini menjadi ramai untuk diperbincangkan.
Semakin mendekatnya hari pemungutan suara maka semakin penting juga rakyat mengetahui siapa calon pemimpin mereka dan bagaimana rekam jejaknya, apakah layak atau tidak. Pengetahuan tersebut tentunya akan menjadi parameter dalam memilih pemimpin yang dirasa layak dan kompeten dalam memimpin bangsa dengan segala problematika ini. Karena kesalahan pada bilik pemungutan suara dimungkinkan akan berdampak pada buruknya kepemimpinan Negara di lima tahun mendatang.
Strategi penarikan suara yang sangat bervariatif harus dipahami masyarakat. Masyarakat harus jeli dalam melihat calon pemimpin, salah satu yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja dari calon adalah dengan menggali informasi sedalam-dalamnya mengenai kontribusi dan prestasinya bagi masyarakat dan Negara. Dengan begitu masyarakat akan mengetahui siapa sebenarnya pemimpinnya. Masyarakat juga harus lebih selektif terhadap lobi-lobi politik dari oknum tertentu yang bersifat semacam penyuapan atau penyogokkan untuk memilih calon tertentu.
Sebagian masyarakat awam yang tidak mengetahui latar belakang calon pemimpin biasanya cenderung memilih golput alias tidak menggunakan hak memilihnya untuk memilih. Seperti yang terjadi pada pemilu pada tahun 2009 jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput sesuai yang dimuat pada harian Kompas sebesar 49.677.776 atau 29, 0059 persen. Jumlah tersebut secara resmi juga dimaktubkan dalam surat penetapan KPU mengenai perolehan suara nasional pemilu legislatif. Total pemilih yang menggunakan hak suaranya 121.588.366 dari total daftar pemilih tetap (DPT) 171.265.442. Jumlah angka golput yang mendekati angka 30 persen itu tergolong besar, meskipun masih lebih kecil dari hasil survei yang memprediksi angka golput bisa mencapai 40 persen. Sementara itu, total suara sah 104.099.785, dan suara tidak sah 17.488.581.
Disinilah letak pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Karena satu suara saja bisa turut merubah nasib bangsa. Satu suara saja bisa dimanfaatkan oknum tertentu yang berniat untuk melakukan kecurangan dalam mendukung kemenangan partainya. Beberapa ahli politik berpendapat bahwa lebih baik salah pilih ketimbang golput, karena alasan tersebut. Untuk itu seluruh lapisan masyarakat pemilih dihimbau untuk melek politik dan cerdas dalam menggunakan hak pilihnya, serta turut mensukseskan acara pemilu demi Indonesia yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment