Oleh: Thoriq Tri Prabowo
Akhir-akhir ini saya sedang disibukkan menulis. Menulis naskah untuk diikutkan lomba @WriteUpComedy yang jurinya adalah orang-orang yang kompeten di dunia tulis-menulis, diantaranya Arief Muhammad alias @poconggg, Om Kuhn, dan juri kompeten lainnya. Dibawah ini adalah logo lombanya, jangan lupa follow twitternya ya! Kisahnya silakan baca di bawah ini. Jika ada kesamaan nama, tempat, waktu dan kejadian cerita hanya fiksi belaka kok. selamat membaca!
Realistis Romantis
Oleh: Thoriq Tri Prabowo
Nama
saya Thoriq Tri Prabowo, saya berasal dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah,
yaitu kota Temanggung, dan saya bukan teroris. Ini kisah nyata yang saya alami
di beberapa tahun terakhir ini. Saya seorang mahasiswa semester lima di sebuah
perguruan tinggi negeri kota Yogyakarta, saya tinggal di sebuah rumah kos sederhana,
meskipun begitu ibu kos saya ramah dan baik sekali. Ia berumur sekitar 40
tahunan, tingginya sedang, dengan kulit sawo mentah, dan berambut gondrong.
Mungkin untuk pembukaan sudah sangat menyerupai cerita seks yang sering kalian
baca.
Saya
adalah remaja 19 tahun yang normal, sehat, tidak ompong, tanduk dan ekor pun
bagus. Menjadi seorang playboy adalah impian saya dari zaman petruk masih
merangkak. Ketampanan saya juga lumayan, lumayan di pojok bawah garis standar.
Namun begitu susahnya memang melepaskan gelar jomblo cumlaude.
Semua
berubah ketika perkenalan dengan sang gadis itu bermula. Berbicara tentang
kisah cinta saya, tidak bisa dipisahkan dengan kisah perjalanan karir
pendidikan, dan kehidupan baru saya di kota Jogja. Saya akan sedikit flash
back yang artinya adalah (lampu belakang).
Lanjut
saja, saya mengambil jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Dan saya
prediksikan kalian para pembaca baru kali ini mengetahui ada jurusan semacam
itu, memang kedengarannya aneh, tetapi itu tidak sepenuhnya salah. Cerita ini
berawal sekitar tahun 2010-an awal, kapan itu terjadi? Yaitu pukul 00:00
tanggal 1 Januari 2010 bego!!!.
Daftar
Kuliah
Pendaftaran
mahasiswa baru sudah mulai dibuka, baik universitas negeri maupun universitas
swasta. Saya sangat berminat untuk mendaftar di universitas negeri karena biaya
pendidikannya yang relatif lebih murah ketimbang universitas swasta. Kala itu
banyak yang menyarankan saya untuk mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris,
mereka berasumsi bahwa di masa yang akan datang menjadi guru bahasa inggris
adalah profesi yang cukup bonafide selain itu, lulusan jurusan
pendidikan bahasa inggris juga mempunyai potensi untuk menjalankan bisnis di
dunia pendidikan. Bisnis yang cukup menjanjikan, bukan bisnis jual beli murid,
melainkan bisnis lembaga bimbingan belajar.
Karena
waktu itu saya labil, saya benar-benar terobsesi. Saya begitu ingin menjadi
guru bahasa inggris. Saya begitu bersemangat, tidak ada satu pun yang bisa
menghalangi niat saya. Saya menggebu-gebu, dan saya loncat-loncat sembari
menggoyang-goyangkan ekor saya.
Singkat
cerita saya mendaftar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan untuk lebih
mempersingkat cerita, saya tidak diterima. Dan saya frustasi. <minum
bodrex sekalian bungkusnya>.
Kegelisahan
saya bertambah ketika mengetahui bahwa pendaftaran universitas negeri sudah
hampir tutup. Tetapi masih ada harapan, di Kota Yogyakarta masih ada
universitas negeri yang belum menutup masa pendaftarannya, bahkan masih membuka
lebar. Dan saya suka sesuatu yang sifatnya terbuka, terlebih lagi lebar, eh.
Cerita berlanjut ketika saya tercengang melihat nama-nama jurusan yang berbau
keislaman, saya lupa baunya. Ya, wajar saja ternyata saya mendaftar di UIN
(Universitas Islam Negeri). Karena saya merasa kurang memiliki kompetensi
keagamaan, saya memutuskan mengambil jurusan yang sedikit umum saja, bukan
toilet atau tempat ngupil umum. Dengan jari gemetar saya memegang bolpoin
ketika saya diminta mengisi blangko pendaftaran, saat saya akan mengisikan
pilihan saya bingung tidak ada kertas yang harus saya isi. Ternyata pengisian
belangko dilakukan menggunakan komputer, lalu bolpoin saya patah-patah. Dan
saya menyesal, itu bolpoin satu-satunya yang saya miliki hingga kini.
Sambil
meratapi kepergian bolpoin, saya mengerjakan beberapa butir soal yang mirip
dengan telur. Soal tes ujian masuk perguruan tinggi yang tidak pernah saya
bayangkan sebelumnya. Ini dia salah satu contoh soalnya: “Siapakah yang
membersihkan parit di Ka’bah?” silakan bagi yang hendak masuk perguruan tinggi
islam, kalian perlu belajar sejarah yang cukup kompleks, dimungkinkan
pertanyaan semacam itu muncul lagi. Satu persatu soal saya kerjakan, saya mulai
menghayati dan menjiwai soalnya, dan lima menit kemudian saya tidur.
Terbangun
dari tidur panjang, saya mlongo di papan pengumuman tertera nama saya
yang menyatakan saya telah di terima di jurusan yang baru saya kenal beberapa
menit yang lalu tersebut. Sedikit tidak percaya, bingung untuk berekspresi,
harus senang atau justru bersedih. Lalu saya putuskan untuk mengelap iler saya
yang sudah mulai mengering.
Mulai
mengatur pernafasan, hirup keluarkan, hirup keluarkan, hirup kentut kentut
kentut, karena terlalu menghirup udara saya menjadi kembung dan
terkentut-kentut. Masih tercengang dengan berita yang benar-benar tidak pernah
terbesit di hati saya memberanikan diri untuk memberi tahu orang tua saya via
twitter. Ternyata bapak saya tidak mempunyai akun twitter, lalu saya memutuskan
untuk mengirim SMS.
<SMS>
“Pak,
saya diterima di jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, UIN Jogja”
“Ha?
Ciyus? Mialloh?”
“Iya
Pak, maafkan anakmu ini pak…”
“Ha?
Ini siapa sih? Kalo mau pesen galon, SMS-in alamatnya! Jangan curhat woy!”
“-____________-“
Ternyata
saya salah kirim. Saya membuka di recently used bukan di phone book. Dan
parahnya lagi itu adalah tukang antar galon. Dan akhirnya saya memesan galon
untuk keramas.
Waktu
telah berlalu, upil demi upil yang sudah saya korek dari hidung, akhirnya orang
tua saya mengetahui jika saya telah diterima di jurusan tersebut. Untuk memberi
semangat mereka tidak memprotes atau menanyai saya tentang jurusan tersebut.
Mereka terus memberi motivasi agar saya tidak bunuh diri. Dan itu berhasil.
Di
sisi lain saya harus menikmati keterlanjuran saya, karena uang SPP sudah
terlanjur nyemplung maka saya yang dari golongan berada, berada di garis
kemiskinan maksudnya. Mau tidak mau harus tetap kuliah di jurusan tersebut.
Sebenarnya jika ditinjau dari segi materi, ongkos kuliah saya cukup murah bila
dibandingkan dengan harga shampoo. Tetapi kaum mainstream Indonesia
sudah menganggap remeh perguruan tinggi yang ada embel-embel religinya, dan itu
yang membuat saya kurang percaya diri. Namun karena saya merasa membawa misi
orang tua saya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, saya merasa memikul
tanggung jawab besar. Dan saya nangis
air ingus di sepanjang perjalanan ke jogja.
<saya
masih jomblo>
Daftar
Kos
Masalah
kembali datang ketika saya belum menemukan tempat kos. Saya mulai mencari di
sekitar kampus saya, dan harganya relatif sama dengan harga diri saya, mahal.
Merasa tidak mempunyai ongkos yang cukup, saya sedikit menjauh dari kampus dan
ketemu di kota Solo. Karena merasa tidak lazim, kejauhan, dan terlalu
mengada-ada saya membatalkan niat saya untuk kos di rumah Jokowi, dan saya
melanjutkan pencarian tempat kos lagi di sekitar kampus, meski tidak begitu
dekat.
Saya
menemukan sebuah benda yang bersinar terang di sebuah kanan jalan. Kalian tahu
itu apa? Ya, kalian benar lampu zein kendaraan yang hendak menyeberang. Saya
amati, ternyata motor tersebut membawa pandangan mata saya kepada jemuran
celana dalam yang di sampingnya ada tulisan “menerima kos putra, dan masih
kosong” dan tanpa basa-basi saya langsung menghampirinya.
Meski
lokasi kos tepat di samping selokan, saya merasa tidak risih karena airnya yang
cukup jernih seperti minyak kayu putih cap kampak. Terlihat disana, di depan
rumah ada seorang ibu paruh baya, mengenakan daster yang menutupi seluruh badan
dan lekuk tubuhnya, ia duduk jongkok dengan tatapan kosong penuh arti. Saya memberanikan
diri untuk bertanya.
“Permisi,
saya mau nyari tempat kos bulanan. Disini masih ada yang kosong buk?”
Sang
ibu tetap diam, dan wajahnya mulai menunjukkan ada sedikit perubahan, terlihat
sekali seperti tekanan batin yang begitu kuat, kerutan di dahinya pun bertambah.
Saya mulai khawatir akan terjadi sesuatu, hingga akhirnya terdengar suara
seakan ada yang terjatuh di air selokan tersebut.
“plung…”
<benda berwarna kuning kecoklatan, tekstur lunak dan menyerupai sosis>
Kampret! Ternyata
ibu-ibu tersebut sedang menunaikan buang
air besar, dan saya terlambat menyadarinya. Meskipun saya bisa mendeskripsikan
benda apa yang jatuh tadi, bukan berarti saya melihatnya. Dan satu lagi fakta
yang baru saya sadari. Ternyata ibu-ibu tersebut mengalami gangguan jiwa. Saya
mengetahui ketika ada seorang ibu berumur sekitar 40-an tahun menghampiri dan
memberitahu saya. Sambil muntah-muntah saya berusaha melupakan kejadian tadi
dan mencoba merundingkan kamar kos saya, dan pada akhirnya saya diterima di tempat
kos tersebut.
Karena
trauma terhadap tragedi ibu-ibu buang hajat tadi, setiap saya melihat ibu-ibu
yang ada di sekitar selokan saya selalu mendorongnya hingga terhanyut dan klabakan
tenggelam di selokan yang berkedalaman 30cm tersebut. Dan belakangan ini ibu
kos saya yang kelupaan saya dorong.
<saya
masih jomblo>
Masa
Kuliah
Semester
pertama adalah semester pengenalan, mulai dari mengenal teman-teman baru,
mengenal sistem perkuliahan. Sebelum kuliah efektif, biasanya mahasiswa baru (maba)
diwajibkan mengikuti kegiatan OSPEK dan sosialisasi pembelajaran. Mirip dengan
MOS di SMP atau SMA. Kita akan menjumpai pemandangan: beberapa kakak senior
yang sedang memanfaatkan situasi tersebut untuk mencari pacar baru, beberapa
maba yang sok aktif dengan sering mengacungkan tangan, dan pemandangan
wajah-wajah penurut dari maba. Ya, memang seperti itu keadaan OSPEK di
kampus-kampus kita.
Wajarnya
memang banyak cewek-cewek maba yang mengidolakan senior mereka yang notabenya
belum mereka kenal sama sekali. Dan saya biasa saja menjadi laki-laki yang
memang jarang diidolakan, meski selalu mengidolakan. Malangnya. Ya, seperti di
masa-masa hampa asmara yang lalu saya selalu memulai karir pendidikan saya
dengan cukup gemilang. IP di semester pertama saya tidak begitu mengecewakan
yaitu 3,44. Sebenarnya jumlah yang cukup logis untuk seorang maba krisis asmara
seperti saya, namun IP tersebut saya banggakan untuk memberikan sedikit citra baik
pada diri saya yang sedari tadi selalu apes.
Sempat
membayangkan di kamar mandi kos, seandainya saya seganteng ariel mungkin
menjadi playboy bukan impian lagi. Tidak perlu seperti sekarang ini harus
promosi kesana kemari hanya untuk mendapatkan sesuap asmara. Saya harus
memajang iklan di Koran rubrik jual beli barang bekas, sekedar pemberitahuan
jika saya masih jomblo dan harap ada yang memungut, dan saya lakukan rutin tiap
seminggu sekali, itu pun hasilnya nihil.
<saya
masih jomblo>
Realistis
Romantis
Yah,
saya menamakan kisah cinta saya realistis romantis hal itu bukan tanpa alasan.
Realistis adalah sifat dasar saya yang selalu menganggap bahwa saya pasti bisa
mendapatkan kekasih seperti Selena Gomez. Sedangkan romantis adalah sifat dasar
saya juga yang masih terpendam dalam di pekarangan rumah saya. Dan keromantisan
saya akan segera muncul ketika saya menemukan kekasih.
Ternyata
diam-diam ada sesosok gadis yang memperhatikan saya tanpa saya menyadarinya.
Pandangan pertama ia memberi senyum, sebenarnya lebih mirip tertawa yang
sedikit ditahan. Lama-kelamaan ia mulai menunjukkan seakan ia ilfeel melihatku.
Firasatku mulai tidak enak, dan kampret banget ternyata ngupil saya tadi di
kamar mandi belum kelar, masih ada upil yang nyangkut di lubang hidung. Meski
hanya sebesar jambu Bangkok, ini membuat gadis tersebut mendadak muntah indomie
satu mangkuk penuh.
Dengan
bijaksana saya berpaling muka dan mencoba mengeluarkan upil nyangkut tersebut.
Kurang lebih satu jam saya berhasil mengeluarkannya. Dengan tangan yang belum
saya cuci lagi pake tanah setelah saya gunakan untuk mengupil, saya mencoba
berkenalan dengan sang gadis. Ternyata raut wajahnya menunjukkan tidak ada
unsur penolakan, sesuai kebiasaan saya jika melihat cewek yang lumayan cantik
pasti mencret.
Setelah
mencretan saya bersihkan saya kembali menjabat tangannya yang sedari tadi masih
menunggu untuk dijabat, menunggu saya cebok. Kami berkenalan, dan namanya
adalah Nana. Seorang gadis berkacamata, berkaca spion dan berkaca
lemari. Kami saling bertukar nomor HP, dan itu rasanya seperti dikejar hiu
bajak laut yang sedang minum kopi goodday. <eh salah ya>
Saya
selalu mengirim SMS setiap malam, terutama malam jumat. SMS demi SMS yang saya
kirim tidak pernah diberikan tanggapan, malang sekali nasib saya. Saya coba
mencari tahu, dan mengevaluasi diri, apa sebenarnya yang membuat SMS saya tidak
pernah ditanggapi. Setelah saya periksa ulang, ternyata saya hanya mengirim SMS
kosong.
Ternyata
itu adalah salah satau pertanda kurang baik. Dari beribu SMS yang saya kirim
saya mendapatkan satu balasan singkat yang cukup menggetarkan jiwa, karena
memang HP saya taruh di celana dalam dalam saat SMS masuk, dan bergetar.
Benar-benar saya masih ingat, hingga kini masih terbayang-bayang SMS-nya.
Beberapa kombinasi kata itu adalah:
“maaf
ya aku nggak punya pulsa”
CETARRRRRRRRR!!!
<suara petir menyambar>
Seraya
saya bersholawat, dan mulai merogoh HP yang sudah terselip di selangkangan.
Saya berniat menelfonnya. Meski sedikit gugup saya mencoba memberanikan diri.
Lagi-lagi saya mulai mengatur nafas, hembuskan, mengatur nafas buka tutup katup
anus, dan kentut.
Saya
menelfonnya dengan basa-basi menanyakan tugas.
“Nana,
apa kabar? Tugasnya pak nurdin yang suruh njilatin buku itu kamu bisa nggak?”
“nana?
Pak nurdin? Kalo mau beli galon, SMS-in alamatnya, jangan nanya tugas woy!”
Kampret!, ternyata
saya sala menelfon tukang galon lagi. Dan pada permin kedua saya berhasil
menelfon Nana. Dan yang lebih mengejutkan, ia sedang berada dalam kondisi
darurat, yaitu ia terpaksa harus mengungsi karena bencana merapi, rumahnya di
sekitar Sleman. Seperti ada kemistri ia mengatakan bahwa dari
beberapa SMS dan telfon yang masuk, hany SMS dan telfonku yang sampai, yang
lain pending. Asumsi awal saya adalah, mungkin teman-teman yang lain
yang SMS salah kirim ke tukang galon. Tetapi ternyata memang sabda alam yang
membuat SMS mereka pending, dan SMS-ku terkirim.
Entah
mengapa saya selalu tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan saya untuk
nana. Apa inikah yang namanya…kebelet eek?.
SMS
demi SMS yang saya kirim, kami mulai menemukan semacam kecocokan. Kami saling
bertukar apa yang kami punya. Bertukar cerita, pendapat, dan kadang bertukar
kaos kaki. Kami pun semakin dekat, SMS dan komunikasi tidak bisa dihentikan,
rem blong. Hingga kami diberikan satu kesempatan hebat oleh Tuhan, yaitu cinta.
Bagi saya ia adalah mutilasi motivasi, tujuan, dan harapan saya.
Tidak
pernah menyangka sebelumnya, cita-cita menjadi guru bahasa inggris harus saya
lupakan. Dan saya harus mulai menatap masa depan saya secara realistis, ya saya
yakin, saya akan menjadi sukses dengan imu yang saya miliki, termasuk ilmu
perpustakaan dan ilmu ngupil. Semenjak hadirnya nana di kehidupan saya.
Saya juga harus merelakan kepergian ambisi kedua saya untuk menjadi playboy
sukses so romantic, cita-cita itu telah lama mati <padahal masih
berharap>.
Hidup
itu dinamis, tidak pernah mau diam. Ia akan terus membuat manufer-manufer yang
memaksa kita untuk mengambil suatu pilihan. Teruntuk karir pendidikan dan kisah
cinta saya, saya memilih meyikapinya dengan Realistis Romantis. Nikmati
keterlanjuran, dan cintai dia. <saya punya pacar>
Tentang
penulis:
Thoriq TriPrabowo seorang Mahasiswa semester 5 Jurusan Ilmu Perpustakaan dan
Inforasi, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment